Jurnal Remaja Labil: Harusnya Hari Ini Saya
Me-review Bioetika dan Hukum
Kedokteran
Well, I’ve had the best day,
with you, today.
-Taylor Swift, The Best Day
Ya, harusnya
hari ini, malam ini juga saya me-review dan membaca kembali catatan Bioetika dan Hukum
Kedokteran yang tadi pagi diberikan oleh professor saya, mengenai jenis-jenis
kematian hingga konflik euthanasia
dan surrogate mother.
Ya, harusnya
saya saat ini sudah berfokus untuk belajar mengenai pelajaran esok hari,
tentang Bahasa Inggris dan Dasar-Dasar Profesionalisme.
Harusnya saya
sudah melupakan , bukan, saya harusnya sudah bisa bergerak dari Kimia menjadi
Kedokteran. Harusnya saya sudah fokus pada studi saya di program studi yang
baru ini, bukan terus-menerus terpikirkan dan penasaran dengan segala pelajaran
dan kuliah di Kimia. Harusnya.... Sekali lagi, harusnya.
Namun, nyatanya?
Di sinilah saya, saat ini,menulis catatan yang bahkan saya bingung mendeskripsikan
catatan macam apa ini.
Playlist hari ini adalah
album Fearless-nya Taylor Swift.
Tadi pagi, saat
di kelas, saya ditelfon oleh Ibuk saya. Saya lupa bagaimana detailnya, tapi
saya ingat saya hampir menangis setelah mendengar beberapa kalimat berikut.
“Capek tah, Nduk? Capek banget a sekolah di situ? Kamu
yang sabar ya.... Memang sudah begitu jalannya”.
Yaa, bagaimana
ya? Saya capek sudah. Baru juga tiga hari kuliah penuh, dari pukul 7.00 –
16.00, tapi entah kenapa rasanya bisa seperti ini. Tiada kata tidak lelah.
Mungkin karena ada beberapa masalah ‘jiwa’, selain beberapa masalah ‘raga’ yang
tengah saya alami. Mungkin karena merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal.
Mungkin karena saya memikirkan segalanya terlalu dalam hingga mengorbankan waktu
produktif saya untuk memikirkan hal secara berlebihan, yang berakibat pada
kurangnya waktu tidur saya, kemudian membuat saya mengantuk sepanjang hari, sepanjang waktu. Baiklah, hobi saya
memang tidur.
Dan, ketika rasa
tidak aman tersebut muncul, rasa bingung dan galau itu muncul kembali ke
permukaan, satu hal yang terpikirkan oleh saya adalah menghubungi teman-teman
saya.... mulai dari Della hingga Malisa. Intinya, saya selalu menghubungi
teman-teman saya ketika sedang blue seperti
ini. Saya bukan tipe orang yang bisa menyelesaikan masalah hati sendirian.
Saya buka tipe
orang yang mudah bergaul, bukan tipe
orang yang mudah memulai percakapan dan membuat perbincangan tersebut menjadi
terus berlanjut. Saya bukan tipe orang yang mudah berbaur dengan yang lain.
Saya bukan orang yang suka memulai pembicaraan. Saya orang sensitif. Saya selalu
bingung dalam mengatakan sesuatu yang muncul begitu saja dalam otak saya, bahkan jika boleh, saya ingin bicara
saja lewat media kertas dan pulpen. Bahkan jika boleh, saya ingin bercengkerama
selalu lewat pesan singkat saja, walaupun saya sulit menghemat karakter. Bahkan
jika boleh, saya ingin bicara tanpa membuka mulut, lewat telepati saja. Saya
sulit menyatakan sesuatu yang ada dalam kepala saya. Sering saya ingin memberi
selamat pada teman saya, tapi akhirnya hanya senyum asimetris yang keluar.
Sering saya ingin menyapa semua orang, tapi akhirnya hanya tundukan kepala yang
saya lakukan.
Butuh waktu yang
cukup lama bagi saya untuk bisa bicara,
dalam arti harfiahnya, dengan seseorang
dan menjadi akrab dengan orang tersebut. Saya sering berkata pada diri saya
bahwa saya harus selalu menjaga jarak. Akibat pengkhianatan di masa lalu, saya
selalu curiga pada semua orang, sering saya curiga secara tak beralasan. Saya
selalu bertekad menjaga jarak, walaupun pada sebagian kecil orang, saya
mempercayai mereka dalam kapasitas penuh, se-percaya saya akan eksistensi Tuhan.
Okay, tentu saja ini berlebihan, tentu se-percaya apapun itu, saya sering
skeptis.
Saya orang yang
sering sekali memikirkan pendapat orang lain dan pemikiran mereka mengenai
saya, yang saya juga sadar bahwa mereka kemungkinan besar tak akan
memperhatikan saya, bahkan keberadaan saya. Sakit juga rasanya tidak diakui
bahwa kamu juga prodi PD, oleh kawan sekelasmu sendiri. Tapi, perasaan supaya
selalu tidak terlihat dan bertindak se-mainstream mungkin selalu menghantui saya.
Setelah waktu
yang cukup lama untuk membaurkan diri dengan teman-teman Kimia-C saya,
akhirnya, setelah menjadi dekat dengan mereka, menjadi bagian dari mereka, saya
harus pergi, beralih ke prodi lain. Menjadi maba lagi, menjalani orientasi
lagi, memulai segalanya dari titik nol lagi, beradaptasi kembali.
Awalnya saya
pikir saya akan baik-baik saja. Saya bisa melalui segalanya, saya bisa
beradaptasi, hanya perlu mengusahakan mulut ini untuk berbicara hal apa yang
muncul di otak saya. Saya hanya perlu jadi lebih terbuka, saya pikir.
Namun, nyatanya,
setiap kali saya membuka beranda halaman Facebook saya, Path saya, Twitter
saya, Instagram saya, saya selalu melihat postingan dari teman-teman kimia
saya. Membuat saya berpikir betapa bahagianya mereka. Betapa menyenangkannya
hidup mereka. Melihat mereka memberikan status-status positif tentang
perkuliahan semester 3 mereka, saya senang membacanya, serasa ikut jadi bagian
darinya. Ya, saya suka membacanya. Karena rasa suka tersebut,akhirnya timbul
rasa sedih pula di diri ini.
Saya bukan tipe orang yang suka dalam
keramaian, tapi juga tidak senang pula dalam kesendirian. Saya pikir saya sudah
berusaha membuka diri untuk mendapatkan kawan-kawan baru, tapi, nyatanya,
sampai hari ini, saya selalu sendirian saja, melakukan ritual jalan-jalan siang
saya, yang telah saya lakukan sejak hari pertama kuliah. Tentu ritual tersebut
yang saya maksud adalah berjalan dari ruang kuliah saya, biasanya Gedung Faal
lt. 3, menuju ke Gedung Kimia lewat perpus UB atau depan Gedung MIPA, setelah
itu saya akan berjalan-jalan hingga ke daerah Kertoleksono untuk sekedar
membeli air putih kemudian jalan kembali ke Faal melalui rute yang berbeda.
Mengapa saya melakukan perjalanan yang
cukup jauh tersebut? Untuk membunuh waktu[!!], daripada duduk sendirian tak
melakukan apapun selain berpikir kesana-kemari. Namun, jika ketika lewat Kimia
bertemu dengan kawan-kawan saya terdahulu, tentu saya akan singgah di sana. Dan saya jadi tahu tentang apa
yang disebut kembali pulang, tentang apa yang disebut sanctuary, yakni suaka.
Namun, saya tahu
saya bukan lagi jadi bagian dari mereka. Tapi saya juga belum jadi bagian dari
Pendidikan Dokter juga. Inilah saya, masih terkurung dalam Limbo, alam antara.
Saya belum
pernah sekalipun membuka mulut ketika profesor-profesor saya mengajukan
pertanyaan, sekali buka mulut pun saya salah omong [hal ini terjadi ketika PBL
pertama. Ah, saya jadi malu].
Selain teringat
masa-masa indah [dan tentu saja,
alay] bersama Malisa, Masitha, dan Mega yang unik
dengan cara mereka sendiri. Selain terngiang-ngiang dengan masa-masa aneh di
Kimia-C, bersama dengan ke-empatpuluhsatu penghuni lainnya. Saya akui, saya
belum bisa melupakan trinitas suci dosen kimia yang menurut saya sangat KECE!
Trinitas suci dosen kimia à Bu Diah, Pak Lukman, Pak Sabar. Tentu saja, saya paling tidak bisa move on dari Dosen Pembimbing Akademik saya tersebut.
Mungkin saya terlalu mengaguminya. Mungkin saya terlalu jadi penggemarnya, mungkin saya cukup menguntit website pribadinya. Belum lagi penasaran
dengan ajaran-ajaran menyenangkan dari Pak Sabar yang ternyata saat ini
mengajar dua matakuliah sekaligus!! Nyesek gak sih? Tapi saya bersyukur teman-teman
saya tetap mendapatkan dosen-dosen yang baik dan keren tersebut. Betapa
menyenangkannya belajar Kimia Analitik Dasar II dan Statistik Kimia bersama Pak
Sabar yang materi dan soal-soalnya selalui menggelitik otak untuk berpikir.
Apalagi dengan Kimia Koloid yang diajari Pak Lukman. Astaga, saya memang
penggemarnya!! Saya ingin menyusup ke dalam kelas Pak Lukman dan Pak Sabar! Bu
Diah kemana?? Ternyata Bu Diah semester ini tak dapat menemani Kimia-C karena keterbatasan
dosen kimia fisik. Ah, pernah dulu, sekali, saya terpikir untuk menjadi dosen
Kimia Fisika [dengan otak se-pas-pas-an ini?? Give me a break!].
Kini, saya
mengerti dengan ungkapan “seberapa besar cintamu pada sesuatu, akan terasa
ketika kau telah kehilangan ia”. Ya,
saya mengerti.
--
Ayolah, tiadakah
kamu punya cerita di FK-mu itu? -.-“
Belum, saya
belum punya cerita tertentu. Bahkan saya belum bisa beradaptasi dengan
lingkungannya. Entah kenapa saya selalu merasa tidak nyaman. Entah kenapa saya
selalu ingin segera mengakhiri kelas. Saya menyukai materinya, tapi saya mulai kehilangan orientasi. Saya mulai
kehilangan alasan mengapa saya berada di sini. Saya mulai muak dengan sistemnya
yang tidak menjunjung tinggi kebebasan orang untuk berpolitik atau tidak. Saya
mulai bosan. Saya mulai bingung untuk apa saya di sini. Okelah, mungkin ini efek samping
belum punya teman. Mungkin ini efek samping kesepian.
Menurut
perhitungan saya, akan butuh waktu sekitar dua minggu bagi saya untuk bisa
bicara dengan mereka secara lebih leluasa, walau saya yakin saya akan menjaga
jarak. Mungkin butuh waktu sekitar dua minggu, sejak pertama kuliah, bagi saya
untuk menemukan topik pembicaraan
dengan orang yang duduk di sekitar saya. Dan,
selanjutnya, mungkin butuh waktu sekitar satu bulan penuh untuk mengurangi
kelainan psikis saya, inferiority complex.
Dengan mengurangi this inferiority
complex, mungkin saya bisa lebih mempercayai diri saya, mungkin akhirnya
saya bisa mengatakan pendapat saya secara lantang, dan satu hal yang pasti, mungkin saya bisa
membuat diri saya secara penuh adalah bagian dari prodi ini. Bahwa saya pantas
untuk menjadi dokter. Bahwa saya bisa membuat otak saya ini lebih teguh dan
bertambah lipatannya. Bahwa saya bisa menghadapi segala rintangan yang ada di
depan saya. Mungkin saya akan lebih bisa mengabaikan pikiran orang lain tentang
saya. Mungkin saya akhirnya bisa mendapatkan teman dan berhenti melakukan
ritual jalan-jalan siang.
Namun, pertama,
saya harus bisa bergerak dan mengikhlaskan kimia kemudian beralih dan memeluk
pendidikan dokter, tanpa membuat ia membelenggu saya. Yang terpenting, saya
harus mengatasi inferiority complex ini
dan meyakinkan saya bahwa saya di sini
sudah pantas dan pas, wong saya
sudah terbukti kredibilitasnya melalui tes sbmptn. Dan, tentu saja yang utama,
saya harus selalu meyakini bahwa Tuhan saya yang selalu menemani saya itu, yang
tidak pernah melalaikan saya itu, yang selalu mendengarkan saya itu, yang
memberikan kehidupan pada saya, bahwa Tuhan yang selalu melindungi saya dan
selalu saya mintai tolong tersebut, tidak akan pernah mengabaikan saya.
Can you feel it now? These walls
that they put up to hold us back will fall down.
It’s a revolution. The time will
come for us to finally win.
We’ll sing hallelujah.
-Taylor Swift, Change
Hallelujah à
Alhamdulillah à Praise due to God.
20140911
22.53
Label:
curhat,
Jurnal Remaja Labil,
story
0 komentar:
Posting Komentar
Hello, world! Leave a trace and lemme see you....