Tampilkan postingan dengan label ghost. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ghost. Tampilkan semua postingan

Kamis, 08 Agustus 2013

The Instruments #2

0

Red and Black
A ghost you say... a ghost maybe
She was just like a ghost to me
One minute there, and she was gone!

Red and Black - The ABC Cafè, Les Misérables
       “Selamat pagi, Corbett!” sapa Heidi saat menuruni tangga. Dia menggantungkan ransel sekolahnya di engsel pintu dapur kemudian berjalan menuju meja makan. Di sana terdapat setengah gelas susu segar, sebuah piring kosong, sendok, dan garpu. Heidi mengetuk-etukkan sendoknya ke piring dan meja.
            “Jangan berisik!” geram Corbett sembari membalik telur dadar di penggorengan.
            Heidi membalikkan badan, “Aku tahu kau tidak pulang pagi. Kau bohong! Kata Pendeta Booth, pembohong akan masuk neraka.”
            Corbett meletakkan telur dadar gosong ke piring Heidi, “Itu bukan urusanmu, Bocah!”
            “Ya ampun, Corbett! Matamu merah dan berkantung, kau tidak tidur?”
            Corbett mendengus kesal sambil menggumamkan sesuatu. Pikirannya memutar kembali  kejadian semalam yang dia alami. Corbett belum bisa menerima bahwa gadis berambut gelap itu adalah hantu seorang gadis bar yang tewas gara-gara cider stroberi. Dia sama sekali tidak menyeramkan seperti hantu-hantu yang ada dalam film atau yang mendekam di sudut-sudut mimpi buruk manusia. Dia terlalu nyata, bahkan Corbett masih mampu merasakan saat tangannya memegang lekuk pinggang hantu-cider-stroberi itu. Dia juga mampu berbicara tegas dan berjalan tegak layaknya homo mimicus lainnya. Corbett mengalihkan pikirannya dengan melirik adik tirinya yang mengernyit saat menyuapkan telur dadar gosong ke dalam mulut mungilnya.
            “Corbett?” panggil Heidi.
            “Hmm?”Corbett menaikkan sebelah alisnya dengan raut muka bosan.
            “Apakahaku akan makan telur dadar lagi?”
            “Adamasalah?” Corbett balik bertanya dengan senyum palsu seakan-akan dia peduli.
            Heidimeletakkan sendok dan garpunya. “Tidak. Hanya saja telur ini terlalu hitam,”jawabnya polos.
            “Apakau bisa membuatnya sendiri? Mengapa tak kau lakukan saja?”
            Heidi terdiam, membekap mulutnya sendiri.
            “Cepatambil tasmu, kita berangkat!”

            Mengencangkan sabuk pengamannya, Heidi menatap kakak tirinya yang memegang kemudi dengan dahi berkerut. Gadis kecil itu mengalihkan pandangan pada toko-toko warna-warni yangmasih tutup. Sesekali, Heidi tersenyum sambil melambaikan tangannya pada penjual kopi dan tunawisma yang berada di pinggir jalan.
            Corbett mengerjapkan matanya yang memerah dan berkantung karena tak bisa tidur semalaman. Ia memutar kemudinya ke kiri, mengarah ke jalanan Alderman’s Hill yang mulai ramai. Dia memelankan laju mobilnya, menyapukan pandangan mencari-cari kedai kopi dan roti yang telah buka. Nihil. Mobil hitam buatanJerman itu berbelok ke Canon Hill lalu memutari bundaran Chase Side, kemudian menyusuri Green Road. Corbett melihat dua orang wanita paruh baya keluar dari kedai kopi bernama Java Junction yang berada di seberang jalan tak jauh darisekolah Heidi.
            Corbett memotong jalan lalu berhenti di depan kedai itu. “Tunggu di sini sebentar,” ujar Corbett sembari mematikan mesin. Dia berjalan menuju kedai itu dengan bersiul dan membenahi tudung kepalanya. Kedai kopi itu lumayan ramai di hari yang masih pagi. Corbett melirik seorang pemuda kurus berwajah Afro-asia yang tertidur dengan mulut terbuka dan kepala bersandar di kaca jendela serta tangan memegang croissant yang tinggal separuh.
           “Ada yang bisa saya bantu?” kata seorang pekerja kedai ramah.
           “Ah, ya. Akupesan Macchiato,” jawab Corbett. Dia sempat membaca name tag gadis di balik meja kasir itu sebelum menunduk mengeluarkan selembar uang dari dompet biru tua bertuliskan II —I’m Important,dan duduk di kursi kayu tinggi. van Versteegh. Mungkin orang Belgia, pikir Corbett.
           “Cangkirbesar atau kecil, Tuan?”
           “Kecil saja,”pinta Corbett tanpa memperhatikannya. Dia menegakkan badannya dan kembali menatap kosong pemuda yang tidur bersandar di kaca jendela sambil mendengus.
           “Dia adalahpelanggan kami yang paling setia,” kata gadis kasir sembari menyodorkansecangkir kecil kopi Macchiato.
           “Terimakasih. Uhm, kau punya piring kecil?” Corbett mendongakkan kepalanya pada gadisber-name tag van Versteegh sembari menaikkan resleting mantel hangatnya.
           Gadisitu mengernyit, kemudian dengan was-was bertanya, “Kau mau melempari dia atau menjejalkan piring ke dalam mulutnya?”
           Corbett terdiam. Mata kelabu-nya menatap rambut ikal gelap milik van Versteegh yang tergerai tanpa berkedip. Jantungnya berdegup kencang. Dia ingin menelan ludah, namun tenggorokannya tercekat. Gadis bar?pekiknya dalam hati. Corbett menelusuri tiap lekuk wajahnya, kemudian menggeleng keras. “Kau tidak berkulit seputih salju, terdapat sedikit corakAsia di wajahmu, alismu terlalu tebal, matamu sedikit lebih lebar, hidungmu tidak terlalu mancung, dan.. tak ada semburat kemerahan di pipimu. Tidak, kaubukan gadis itu,” Corbett meracau dengan lantang.
          Van Versteegh hanya mampu menatap Corbett dengan rasa malu dan bingung yang memuncak serta muka memerah.
          Corbett menyeringai tanpa dosa pada gadis itu dan tertawa terbahak-bahak. “Kau pikirkau bisa menipuku lagi, Ghostcider?”Menyadari semua mata tertuju ke arahnya, Corbett berdeham, lalu berdiam dirimenatap mata  van Versteegh. Dia menariknapas dalam, “Maafkan aku.” Corbett segera bangkit dari kursinya dan pergi darikedai itu dengan kepala menunduk.
          “Cepat keluar, Heidi, atau kau akan ter..” Corbett mendapati mobilnya kosong. “Heidi?”panggilnya, melayangkan pandangan ke kanan dan ke kiri dengan panik. “Heidi!”teriaknya sembari berlari ke pintu gerbang De Bohun Primary School  yang akan ditutup. Dilihatnya gadis kecil bersarung tangan merah itu melambai padanya sambil tersenyum. “Oh, syukurlah,”ujar Corbett lega. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya jika Heidihilang atau diculik, pasti akan semakin terpuruk. Meskipun Corbett sama sekalitak menyukai Heidi, namun kenyataan bahwa Heidi-lah yang menebalkan dompet dantabungannya, membuat Corbett harus berpikir sekali lagi untuk tidakmempedulikannya.
         “Anda melupakan kopi dan kembalian Anda, Tuan,” seseorang menepuk bahu Corbett.
         Corbett berjingkat dan menjerit. “Baiklah. Aku sangat menyesal dengan apa yang telah kukatakan padamu. Ambil saja kopi dan uangku. Dan aku mohon jangan menggangguku. Please, van Versteegh TheGhostcider..” Corbett berkata cepat dengan mata terpejam. Dia segera berlari menuju mobilnya dan melepas mantelcokelatnya kemudian memutarbalik ke arah bundaran Chase Side. Di dalam mobil,Corbett meracau tak karuan. Dia menggumamkan potongan-potongan Doa Bapa Kamidalam Alkitab yang masih bisa dia ingat.
           Corbett memberanikan diri melirik kaca spion untuk memastikan van Versteegh telahmenghilang. Tidak. Van Versteegh masih terbengong di depan De Bohun sembarimenggenggam uang dan kopi pada masing-masing tangannya. Corbett menjulurkan tangannya ke atas dasbor mobil, mengambil kalung salib dan memakainya dalamgerakan singkat.
            Corbett menepi ke pinggir jalan, memarkirkan mobilnya di depan toko mainan milik ayahAbsalom seperti biasa karena Middlesex University tidak menyediakan area parkiruntuk mahasiswanya. “Selamat pagi, Mr. McCormick!” sapa Corbett malas pada ayahAbsalom seraya keluar dari dari mobilnya.
         “Seingatku,kau tidak ada kuliah hari ini, Corbett. Apa yang akan kau lakukan?” tanya Mr.McCormick, mengelap kaca tokonya.
           “Pertanyaan bagus, Mr. McCormick. Tapi, maaf, aku tidak punya waktu untuk menjawabnya,”jawab Corbett lembut namun tak acuh. Dia berjalan cepat menuju Hendon –kampusMiddlesex University, sambil menunduk dan memegangi kalung salibnya. Dia samasekali tidak mempedulikan dandanannya yang menjadi perhatian banyak orang.Memakai kaus kaki dan sandal jepit hitam, celana jeans yang sobek di bagianlutut, kaos oblong warna putih bertuliskan “Idon’t care, I love it”, rambut acak-acakan yang menyembul di balik tudungkepala, bibir kering, dan mata merah berkatung. Corbett tak merasakan dinginnyapagi bulan Januari, ia tetap percaya diri melintasi gedung perkuliahan bergayaneo-Georgian itu. Pikirannya hanya mengarah pada kapel tua di belakangperpustakaan Sheppard.
            Corbett berdeham di depan pintu kapel lalu membukanya perlahan. Tak ada siapapun didalam kapel tua itu, selain Pendeta Rivenbark yang berdiri menyalakan tigalilin besar di depan altar. Corbett melangkahkan kakinya, dan tersenyum padapendeta itu. “Aku ingin berdoa,” kata Corbett kaku. Pendeta Rivenbarkmengangguk pelan kemudian berjalan meninggalkan Corbett.
            Corbett berlutut di depan mezbah, menautkan jemarinya satu sama lain, dan menundukdengan mata terpejam. Bibirnya komat-kamit mengucapkan segala yang dia rasakan.Beberapa menit kemudian, dia membuka matanya dan mendapati seorang gadisberlutut di sampingnya. Corbett berjingkat ketakutan. “Van Versteegh!” serunyatanpa suara.
            Gadis itu membuka matanya dan terkejut, “Tuan Macchiato!”
         Corbett menjauhi gadis itu perlahan dan berdeham beberapa kali. “Bagaimana kau bisamasuk ke dalam kapel?”
            “Dengan membuka pintu?” jawab van Versteegh polos.
            “Maksudku,apa kau tidak takut dengan Tuhan?”
            Van Versteegh mengangguk, “Tentu saja aku takut.”
            Corbett menelan ludahnya, “Kau pernah bertemu dengan-Nya?”
            “Apa maksudmu?”
          “Oh,ayolah! Kau tidak bisa menghantuiku terus menerus, van Versteegh. Aku baru sajamendoakanmu agar damai di alam lain.”
            “Kau ini bicara apa, Tuan?”
            PendetaRivenbark memasuki kapel melalui pintu samping yang berhubungan dengan kamartinggal sambil berdeham.
         “Maafkan aku, Pendeta Rivenbark. Hanya saja gadis ini...” Corbett menunjuk seseorang disampingnya. Mata Corbett membelalak menyadari tak ada seorang pun yangbersamanya. Dia menoleh ke arah pintu, pintu itu berayun pelan tertutup.
            “Kau punya masalah, Mr. Proudfoot? Kau terlihat ketakutan seperti bertemu dengan hantu,”Pendeta Rivenbark tersenyum geli.
            “Hantu katamu? Mungkin. Dia terlihat seperti itu. Satu menit yang lalu dia di sini,lalu pergi.”



hehe, mohon maaf sebelumnya jika tidak sesuaidengan judul. Saya memang hanya menginterpertasikan beberapa kata dari lirik lagu ini. Sekali lagi mohon maaf jika tidak layak disebut songfic 
-Dells-

The Instruments #1

0
Holla !
Mooi kedatangan author baru nih, Yippie!
She is Dells, si Maba UB dengan gaya bahasa serupa bahasa terjemahan yang pastinya keren :)
ayolaah, langsung diliat aja postnya...

Cerbung ini dan seterusnya merupakan songfictions, interpretasi saya terhadap lagu-lagu yang saya tuang dalam cerita, happy reading :)

 The Instruments



A Whiter Shade of Pale

            “Aku akan kembali menjelang pagi, kau tak perlu menungguku. Naiklah dan segera tidur!” teriak Corbett sembari memakai mantel coklatnya. Dia menutup pintu di belakangnya dengan keras kemudian berjalan melintasi halaman rumahnya yang bergaya Victoria dan menyeberang jalan menyusuri Seymour Road yang damai. Berjalan sendiri di malam yang larut sama sekali tak membuatnya takut akan berbagai hal buruk yang kemungkinan akan terjadi pada dirinya. Pikirannya hanya tertuju pada sebuah bar di pinggir jalanan Green Lanes, Harringay, London Utara dan botol-botol bir yang akan ditenggaknya.
            Dinginnya malam bulan Januari menggigit tubuh tegapnya hingga membuatnya menggigil, Corbett membenahi tudung kepalanya lalu berlari melompati halaman belakang rumah penduduk Warham Road untuk mendapatkan jalan pintas tercepat sampai di bar. Tumpukan salju di trotoar yang belum dibersihkan petugas kebersihan membuat kaki panjangnya semakin kedinginan. Corbett mendadak berhenti di persimpangan jalan, sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman lebar melihat papan nama bar The Garden Ladder yang gemerlapan. Bunyi musik hip-hop sayup-sayup terdengar bersamaan dengan teriakan-teriakan pengunjung bar.
            “Hei, Corbett! Selamat datang kembali di Harringay,” sambut seorang gadis berambut merah sambil menggelayut di lengannya.
            Corbett menepis gadis itu dan mendengus jijik, “Kau tampak mengerikan dan membuatku mual.”
            “Corbett! Sebelah sini!” seru lelaki tinggi besar, melempar botol bir kosong ke arahnya.
        Corbett menghindar dan membiarkan botol itu jatuh di lantai. Ia menyibak kerumunan orang yang berjoget tak karuan di lantai dansa kemudian duduk kursi tinggi. “Aku mau yang baru,” kata Corbett pada bartender yang akan menuangkan Courage Directors Beer pada gelas bekas temannya.
           “Jadi, kau meninggalkan adikmu begitu saja?” teriak Absalom mengimbangi kerasnya musik yang diputar DJ.
          “Mengapa? Kau ingin mengajaknya berdansa seperti kucing-kucing betina itu,” Corbett memutar kepalanya pada kerumunan gadis di tengah lantai dansa. “Sudahlah, jangan dibahas, kau membuatku semakin merasa berdosa meninggalkan gadis delapan tahun di rumah sendirian.”
          Absalom terbahak, “Aku tak menyangka kau ingat usianya! Well, kau lupa bahwa kau memang pendosa?”
          Corbett mendengus seraya menyesap birnya perlahan-lahan. Sebuah tangan mungil menepuk bahunya, Corbett berbalik dan mendapati salah seorang dari kumpulan kucing betina itu berdiri miring dan memandangnya dengan tatapan memohon. Lelaki brunette itu menaikkan sebelah alisnya, “Abbie, kau saja!”
          Absalom menyeringai lebar kemudian menyeret gadis itu turun ke lantai dansa. Corbett kembali menyesap birnya perlahan, lamunannya melayang pada kejadian yang dialaminya seminggu ini. Ayahnya, Joe Proudfoot, terbang ke Istanbul untuk urusan bisnis hingga membuatnya kembali terdampar di rumah untuk menjaga Heidi, adik tirinya, karena penjaganya pulang ke Aberdeen yang berjarak 534 mil dari London. Ia mengerti betul maksud Joe memintanya pulang ke Seymour, Joe menginginkannya menjadi abang yang baik bagi Heidi setelah ia ditinggal mati ibunya beberapa bulan yang lalu. Hal ini tentu saja mengingatkan Corbett pada luka lama saat ibunya sendiri terbaring koma selama empat bulan hingga akhirnya meninggal dunia karena rumah sakit mancabut hak perawatan bagi ibu Corbett. Namun, kenyataan bahwa Corbett sama sekali tak menginginkan kehadiran Heidi membuat dirinya dalam keadaan sulit dalam seminggu ini. Dia harus menyiapkan sarapan dan mengantar-jemput Heidi ke sekolah, walau Corbett tahu selama seminggu ini mereka hanya makan telur dadar.
          Corbett menenggak birnya seperti orang baru pulang dari Gobi. “Heidi,” gumamnya pelan.
          “Corbett? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya seorang gadis pirang terkejut.
          Corbett memegangi kepalanya yang mulai pusing. Dia mendongak, “Amandine? Kau..”
          “Yeah, aku bekerja di sini. Kau sedang cuti?”
          Corbett berdeham, “Tidak. Dad menyuruhku pulang ke Seymour untuk menjaga.. kau-tahu-siapa.”
          “Oh, ayolah, dia anak yang baik.”
          “Kau mau menjaganya? Aku membuka lowongan.”
          Amandine tersenyum getir, “Aku tidak yakin Mr.Proudfoot mau menerimaku.”
          “Aku yang akan membayarmu, bukan dia. Aku serius. Kau tahu, ini sungguh merepotkan,” Corbett mengerjapkan matanya.
          “Aku sama sekali tidak yakin. Maaf, ini sudah lewat jam kerjaku. Bye, Corbett.”
          “Oke.” Dia kembali memesan sebotol bir dan meminumnya. Corbett menelengkan kepala ke kiri dan ke kanan, mengusir burung-burung biru kecil berparuh kuning yang berputar di atas kepalanya membentuk lingkaran halo. Dia melihat seorang gadis pegawai bar duduk di sudut ruangan memutar-mutar botol soda sembari mengisap mariyuana. Gadis itu terlihat sangat gembira. Corbett melorot dari kursinya dan berjalan dengan langkah berat mendekati gadis itu, dia kehilangan keseimbangan dan jatuh beberapa kali. Dia kembali menyibak kerumunan orang yang bergerak mengikuti irama musik. Corbett bersandar di dinding sebelah gadis itu. Gadis berambut gelap itu merogoh sesuatu dari dalam saku jaketnya, sebuah senter kecil. “Hai,” sapa Corbett seraya duduk di belakangnya.
          Gadis itu tak bergeming. Dia menekan tombol senternya yang menyala warna-warni kemudian mengibas-ngibaskannya di udara sembari tertawa riang. Tangan kanannya menyesapkan mariyuana sekali lagi ke dalam bibir mungilnya.
          Corbett menepuk bahu gadis itu, sontak dia berbalik dan mencengkeram tangan Corbett. “Wow.. wow.. tenang, Nona Muda.”
          Gadis itu menggeram pelan kemudian melepas cengkeramannya.
          “Kau bekerja di sini?”
          “Ya, tapi shift-ku berakhir dua jam yang lalu,” jawab gadis itu dengan suara selembut beledu.
          Corbett terkesiap. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, “Kau suka jankry?”
          “Yeah, ini membuatku lebih gembira dan aktif. Walaupun tidak secara fisik seperti efek metamfetamin. Setidaknya, sejauh ini mariyuana belum terbukti menimbulkan kecanduan.” Gadis itu menyodorkan lintingan mariyuana dalam sakunya pada Corbett. “Cobalah.”
          Corbett menyalakan pemantik apinya lalu mengisap jankry-nya dengan mata tertutup. “Corbett,” dia mengulurkan tangan kirinya. Gadis itu tidak mendengar, sibuk bermain-main dengan senternya. Corbett menarik kembali tangannya dan menenggak birnya.
          “Kau berantakan,” gadis itu menggeleng pelan.
          “Kau mengenal Amandine?” tanya Corbett dengan suara serak.
          “Ya. Dia gadis yang menyenangkan.”
          “Apakah dia masih tinggal di Slough?”
        “Aku tidak pernah tahu dimana ia tinggal. Kau menyukainya? Kudengar, dia temanmu semasa sekolah.”
          “Tidak, aku ingin menawarinya pekerjaan yang lebih baik daripada di sini.”
          “Life saver,” dengus gadis itu.
          “Musiknya semakin hebat, kau mau turun?” ajak Corbett.
          Gadis itu mengangguk kemudian bangkit dengan cepat dan menggandeng tangan Corbett turun ke lantai dansa. Corbett mematikan jankry-nya lalu memasukkannya ke dalam saku celana. Mereka berdua mendesak siapa saja di sekitar mereka dengan gerakan-gerakan yang sinkron satu sama lain. DJ mempercepat temponya, Corbett tertawa keras bersama gadis itu. Riuhnya teriakan dan tepuk tangan pengunjung bar semakin membuat mereka girang.
          Corbett memandang gadis itu dengan senyuman lebar. Gadis itu menyunggingkan sudut bibirnya. “Kau baik-baik saja?” tanya Corbett.
          “Aku sangat bersemangat,” dia terbahak-bahak.
          “Sepertinya kau tak enak badan,” Corbett memegang tangan dan pinggang gadis itu, berdansa pelan seiring tempo yang mendayu-dayu.
          “Aku baik-baik saja,” senandung gadis itu.
          “Entahlah, kau agak pucat.”
          “Dan kurasa kebenarannya jelas terlihat.”
          Corbett segera membawanya ke tempat semula.
          “We want more! We want more! We want more!” teriak pengunjung saat mereka menepi.
          Corbett memberikan senyuman lebar pada mereka dan berteriak, “Sekarang giliran kalian!” Dia melambaikan tangannya pada DJ di seberang ruangan. DJ menaikkan sebelah alisnya dan memutar ulang lagu-lagu tadi. Ruangan itu bersenandung keras seakan langit-langitnya hampir beterbangan. Seorang bartender yang tadi menuangkan bir Corbett berjalan mendekati mereka berdua, membawa nampan berisi sebotol Brothers Cider rasa stoberi-pear dan sebuah gelas ramping.
          “Kau menghidupkan suasana yang begitu semarak. Gratis untukmu,” ujar bartender itu ramah.
       “Tolong ambilkan gelasku tadi,” pinta Corbett. Bartender itu menautkan kedua alisnya kemudian berbalik dan kembali membawa gelas Corbett. “Terima kasih.”
          “Haha, sama-sama.”
         Corbett menuangkan cider itu ke dalam dua gelas lalu memberikan yang satu pada gadis berambut gelap itu. “Minumlah.”
          Gadis itu meraih gelasnya dan minum dengan rakus. “Terima kasih.” Dia menghisap mariyuana lagi.
          “Hei, Corbett, bergabunglah! Kami kekurangan seorang pemain” teriak Absalom yang tengah memegang kartu bridge. Corbett beranjak dan mengambil alih tempat duduk Absalom.
          Absalom mencibir kemudian mulai mengocok kartu dan membagikan pada ketiga kontestan lainnya. Corbett meraup kartu-kartunya lalu memandangi, menelaah dan mengambil keputusan terbaik bagi masa depan kartu-kartu miliknya. Serempak keempat pemain masing-masing meletakkan sebuah kartu perolehan target dalam posisis telungkup di atas meja dan membukanya bersamaan. “Wow!” Corbett bersorak kegirangan mengetahui adanya kartu truf dalam genggamannya. Mereka berempat mulai memainkan permainan yang telah diangkat menjadi suatu olahraga itu.
          Corbett membuang muka pada gadis yang telah menari bersamanya. Gadis itu tersenyum lebar menampakkan giginya yang tersusun rapi sembari mengepalkan tangannya, “Semangat!”
          Corbett tenggelam lagi dalam permainan kartunya, sesekali dia berteriak bersama ketiga pemain lain kemudian menyesap cider-nya. Tak butuh waktu lama baginya untuk menyingkirkan Absalom dan salah seorang temannya. Kini, tinggal Corbett berduel dengan Keane Falkner, seorang pemuda yang bekerja sebagai tukang giling daging yang terkenal jago bermain kartu di Harringay. Corbett melihat gadis tadi melenggang pergi bersama kawanan kucing betina. Corbett meletakkan kartunya kemudian merogoh saku, melempar beberapa lembar uangnya pada Keane lalu berlari menyusul gadis itu. Absalom membuka kartu-kartu Corbett dan mengumpatnya berkali-kali karena seharusnya sedikit lagi ia akan memenangkan babak itu.
           “Tunggu!” teriak Corbett di depan pintu masuk The Garden Ladder.
           Kawanan kucing betina itu bersorak. “Oh, Corbett.. Kau ingin pergi ke Herne Bay bersama kami?”
           Corbett meludah, “Bersama kalian? Hahaha! Tidak akan pernah. Hey, kau!” Corbett menunjuk gadis berambut gelap itu. “Kau akan membahayakan dirimu bersama mereka di Herne!”
      Kawanan berjumlah enam belas orang itu mengernyit. “Corbett, sepertinya kau perlu panduan bersenang-senang,” ujar Bernice, salah seorang dari mereka.
           Corbett menarik lengan gadis berambut gelap itu dan membawanya ke bawah lampu jalanan dengan sempoyongan, “Dengar, jangan pernah berkawan dengan mereka. Aku akan mengantarmu pulang, oke?”
           “Kurasa dia mulai gila, Ladies,” kata  Bernice sembari memasuki mobilnya.
           “Apa maumu?” selidik gadis jankry itu dengan nada tinggi.
           “Aku tak ingin kau bersama kucing betina itu.”
           “Aku bukan anggota mereka, Corbett. Kau bilang kau ingin mengantarku pulang? Kau serius?”
           “Oh, syukurlah,” kata Corbett lega. “Yeah, tentu saja.”
           “Maaf, tapi aku sudah dijemput.”
           “Kau punya kekasih?”
           Gadis itu tertawa, “Paman Zar dan Bibi Lucy selalu menjemputku di Kimberley Gardens. Pulanglah, kau sangat berantakan.” Dia mulai berjalan meninggalkan Corbett.
           “Aku akan mengantarmu sampai persimpangan,” Corbett menawarkan diri.
           “Aku tidak yakin kau akan tahan melihat kedua orang itu.”
           “Lihatlah, dirimu pucat sekali. Bagaimana jika kau pingsan di tengah jalan?”
        “Kau tak perlu khawatir, aku baik-baik saja,” gadis itu tertawa kemudian berlari kecil semakin menjauhi Corbett.
           “Hey, siapa namamu?”
       “Jankry?” teriaknya sembari tertawa dan menghilang di persimpangan saat berbelok ke arah Kimberley Gardens.
           Corbett memasang sarung tangannya, “Yaa Tuhan, dia sungguh manis.”
           “Corbett!” teriak Absalom.
           Corbett mendecak, “Apa? Kau mau tidur di rumahku lagi?”
           Plak! Absalom menampar Corbett, “Kau ini bodoh sekali, Donkey! Tinggal selangkah lagi kau pasti mengalahkan Keane yang sok jagoan itu. Mengapa kau lakukan itu, bodoh?”
           Wajah tirus Corbett berseri-seri, “Kau tahu gadis yang bersamaku di lantai dansa tadi?” Corbett menghela napas, “Dia sungguh menawan, Abbie!”
           Absalom nyengir melihat Corbett, “Apa yang kau bicarakan?”
           “Gadis berambut gelap itu, dia salah seorang pegawai bar tadi aku mengajaknya menari dan minum bersamanya.”
           “Aku tahu, Corbett, kau tadi menari dengan hebat. Aku tak pernah melihatmu semangat sekali seperti itu, tapi percayalah padaku kau tadi menari seorang diri.”
           “Apa?”
           Absalom mengangkat bahunya, “Oke, kau mabuk. Kau terlalu banyak minum Courage Directors, kawan.”
           “Jadi, itu hanya halusinasi?”
           “Aku tidak tahu, tapi kau memang menari sendirian seperti orang gila.”
         “Tidak! Gadis itu memberiku jankry.. sebentar,” Corbett merogoh saku celananya. Tidak ada apapun. “Oh, pasti yang sebelah sini.” Tidak ada.
           “Aku akan mengantarmu pulang, Corbett,” ujar Absalom.
           “Tunggu! Dia baru saja belok ke Kimberley Gardens, kita akan menyusulnya, oke?”
       “Sebentar, Corbett.. kau bilang gadis berambut gelap, dia memberimu jankry, dan pergi ke Kimberley?”
           Corbett mengangguk antusias, “Kau mengenalnya?”
           “Aku tahu siapa yang mengenalnya,” Absalom menarik lengan Corbett lalu kembali ke bar.
           “Keane!”
           “Ada apa, Abbie? Apakah uangnya kurang?” tanya Keane tenang.
           “Corbett bilang dia bertemu gadis itu.”
           Mata Keane membelalak, “Benarkah? Gadis yang berada di sudut itu?”
           “Kau lihat, Abbie! Aku tidak berhalusinasi,” Corbett menyeringai senang.
           Keane berdeham, “Bagaimana jika kita bicara di luar? Di sini terlalu bising.”
           Mereka berjalan keluar dan duduk di kursi panjang di depan bar.
           “Jadi, Corbett.. maaf, dia tidak nyata,” Keane menghela napas.
           “Apa maksudmu?”
         “Dulu di sini ada seorang pegawai, gadis berambut gelap yang selalu membawa senter kecil. Dia sangat terobsesi dengan mariyuana dan cider.
           Corbett memegangi kepalanya dengan perasaan sedikit terguncang. “Kau serius?”
           “Tentu saja, itu terjadi sekitar empat bulan yang lalu.”
           “Bagaimana bisa aku tak mendengar kabar itu?’
           “Bukankah kau tak pernah pulang ke Seymour sejak kau lulus SMA?”
           “Darimana kau tahu?”
           Keane tertawa, “Siapa di Harringay yang tidak mengenal keluarga Proudfoot? Well, kembali ke gadis itu. Dia sangat menyukai cider namun sayang dia alergi dengan stroberi.”
          Corbett terkejut, “Oh, ya ampun.. mungkin itu yang membuatnya semakin pucat. Aku minum Brothers Cider rasa stroberi-pear bersama dia di sudut bar.”
           Absalom dan Keane ternganga mendengar Corbett, “Kau mengajak minum seorang hantu sampai dia sakit?” Absalom tertawa keras.
           “Dia sangat menikmatinya, Abbie,” dengus Corbett.
           “Malam itu, dia minum cider stroberi dua botol kemudian berkunjung ke rumah sakit St. Ann seperti yang biasa dia lakukan sepulang kerja. Dan keesokan harinya, dia ditemukan tergeletak tak bernyawa di depan sebuah rumah di Kimberley Gardens.”
           Corbett menelan ludahnya dengan susah payah dan mata tak berkedip.