Red and Black
A ghost you say... a ghost maybe
She was just like a ghost to me
One minute there, and she was gone!
Red and Black - The ABC Cafè, Les Misérables
“Selamat pagi, Corbett!” sapa Heidi saat menuruni tangga. Dia
menggantungkan ransel sekolahnya di engsel pintu dapur kemudian berjalan
menuju meja makan. Di sana terdapat setengah gelas susu segar, sebuah
piring kosong, sendok, dan garpu. Heidi mengetuk-etukkan sendoknya ke
piring dan meja.
“Jangan berisik!” geram Corbett sembari membalik telur dadar di penggorengan.
Heidi membalikkan badan, “Aku tahu kau tidak pulang pagi. Kau bohong!
Kata Pendeta Booth, pembohong akan masuk neraka.”
Corbett meletakkan telur dadar gosong ke piring Heidi, “Itu bukan urusanmu, Bocah!”
“Ya ampun, Corbett! Matamu merah dan berkantung, kau tidak tidur?”
Corbett mendengus kesal sambil menggumamkan sesuatu. Pikirannya memutar kembali kejadian semalam yang dia alami. Corbett belum bisa menerima bahwa gadis berambut gelap itu adalah hantu seorang gadis bar yang tewas gara-gara cider
stroberi. Dia sama sekali tidak menyeramkan seperti hantu-hantu yang
ada dalam film atau yang mendekam di sudut-sudut mimpi buruk manusia.
Dia terlalu nyata, bahkan Corbett masih mampu merasakan saat tangannya
memegang lekuk pinggang hantu-cider-stroberi itu. Dia juga mampu berbicara tegas dan berjalan tegak layaknya homo mimicus lainnya.
Corbett mengalihkan pikirannya dengan melirik adik tirinya yang
mengernyit saat menyuapkan telur dadar gosong ke dalam mulut mungilnya.
“Corbett?” panggil Heidi.
“Hmm?”Corbett menaikkan sebelah alisnya dengan raut muka bosan.
“Apakahaku akan makan telur dadar lagi?”
“Adamasalah?” Corbett balik bertanya dengan senyum palsu seakan-akan dia peduli.
Heidimeletakkan sendok dan garpunya. “Tidak. Hanya saja telur ini terlalu hitam,”jawabnya polos.
“Apakau bisa membuatnya sendiri? Mengapa tak kau lakukan saja?”
Heidi terdiam, membekap mulutnya sendiri.
“Cepatambil tasmu, kita berangkat!”
Mengencangkan sabuk pengamannya, Heidi menatap kakak tirinya yang
memegang kemudi dengan dahi berkerut. Gadis kecil itu mengalihkan
pandangan pada toko-toko warna-warni yangmasih tutup. Sesekali, Heidi
tersenyum sambil melambaikan tangannya pada penjual kopi dan tunawisma
yang berada di pinggir jalan.
Corbett mengerjapkan
matanya yang memerah dan berkantung karena tak bisa tidur semalaman. Ia
memutar kemudinya ke kiri, mengarah ke jalanan Alderman’s Hill yang
mulai ramai. Dia memelankan laju mobilnya, menyapukan pandangan
mencari-cari kedai kopi dan roti yang telah buka. Nihil. Mobil hitam
buatanJerman itu berbelok ke Canon Hill lalu memutari bundaran Chase
Side, kemudian menyusuri Green Road. Corbett melihat dua orang wanita
paruh baya keluar dari kedai kopi bernama Java Junction yang berada di
seberang jalan tak jauh darisekolah Heidi.
Corbett memotong jalan lalu berhenti di depan kedai itu. “Tunggu di sini
sebentar,” ujar Corbett sembari mematikan mesin. Dia berjalan menuju
kedai itu dengan bersiul dan membenahi tudung kepalanya. Kedai kopi itu
lumayan ramai di hari yang masih pagi. Corbett melirik seorang pemuda
kurus berwajah Afro-asia yang tertidur dengan mulut terbuka dan kepala
bersandar di kaca jendela serta tangan memegang croissant yang tinggal separuh.
“Ada yang bisa saya bantu?” kata seorang pekerja kedai ramah.
“Ah, ya. Akupesan Macchiato,” jawab Corbett. Dia sempat membaca name tag
gadis di balik meja kasir itu sebelum menunduk mengeluarkan selembar
uang dari dompet biru tua bertuliskan II —I’m Important,dan duduk di
kursi kayu tinggi. van Versteegh. Mungkin orang Belgia, pikir Corbett.
“Cangkirbesar atau kecil, Tuan?”
“Kecil saja,”pinta Corbett tanpa memperhatikannya. Dia menegakkan
badannya dan kembali menatap kosong pemuda yang tidur bersandar di kaca
jendela sambil mendengus.
“Dia adalahpelanggan kami yang paling setia,” kata gadis kasir sembari menyodorkansecangkir kecil kopi Macchiato.
“Terimakasih. Uhm, kau punya piring kecil?” Corbett mendongakkan kepalanya pada gadisber-name tag van Versteegh sembari menaikkan resleting mantel hangatnya.
Gadisitu mengernyit, kemudian dengan was-was bertanya, “Kau mau
melempari dia atau menjejalkan piring ke dalam mulutnya?”
Corbett terdiam. Mata kelabu-nya menatap rambut ikal gelap milik van
Versteegh yang tergerai tanpa berkedip. Jantungnya berdegup kencang. Dia
ingin menelan ludah, namun tenggorokannya tercekat. Gadis bar?pekiknya
dalam hati. Corbett menelusuri tiap lekuk wajahnya, kemudian menggeleng
keras. “Kau tidak berkulit seputih salju, terdapat sedikit corakAsia di
wajahmu, alismu terlalu tebal, matamu sedikit lebih lebar, hidungmu tidak
terlalu mancung, dan.. tak ada semburat kemerahan di pipimu. Tidak,
kaubukan gadis itu,” Corbett meracau dengan lantang.
Van Versteegh hanya mampu menatap Corbett dengan rasa malu dan bingung yang memuncak serta muka memerah.
Corbett menyeringai tanpa dosa pada gadis itu dan tertawa terbahak-bahak. “Kau pikirkau bisa menipuku lagi, Ghostcider?”Menyadari
semua mata tertuju ke arahnya, Corbett berdeham, lalu berdiam
dirimenatap mata van Versteegh. Dia menariknapas dalam, “Maafkan aku.”
Corbett segera bangkit dari kursinya dan pergi darikedai itu dengan
kepala menunduk.
“Cepat keluar, Heidi, atau kau
akan ter..” Corbett mendapati mobilnya kosong. “Heidi?”panggilnya,
melayangkan pandangan ke kanan dan ke kiri dengan panik.
“Heidi!”teriaknya sembari berlari ke pintu gerbang De Bohun Primary
School yang akan ditutup. Dilihatnya gadis kecil bersarung tangan merah
itu melambai padanya sambil tersenyum. “Oh, syukurlah,”ujar Corbett
lega. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya jika Heidihilang
atau diculik, pasti akan semakin terpuruk. Meskipun Corbett sama
sekalitak menyukai Heidi, namun kenyataan bahwa Heidi-lah yang
menebalkan dompet dantabungannya, membuat Corbett harus berpikir sekali
lagi untuk tidakmempedulikannya.
“Anda melupakan kopi dan kembalian Anda, Tuan,” seseorang menepuk bahu Corbett.
Corbett berjingkat dan menjerit. “Baiklah. Aku sangat menyesal dengan
apa yang telah kukatakan padamu. Ambil saja kopi dan uangku. Dan aku
mohon jangan menggangguku. Please, van Versteegh TheGhostcider..”
Corbett berkata cepat dengan mata terpejam. Dia segera berlari menuju
mobilnya dan melepas mantelcokelatnya kemudian memutarbalik ke arah
bundaran Chase Side. Di dalam mobil,Corbett meracau tak karuan. Dia
menggumamkan potongan-potongan Doa Bapa Kamidalam Alkitab yang masih
bisa dia ingat.
Corbett memberanikan diri melirik kaca spion
untuk memastikan van Versteegh telahmenghilang. Tidak. Van Versteegh
masih terbengong di depan De Bohun sembarimenggenggam uang dan kopi pada
masing-masing tangannya. Corbett menjulurkan tangannya ke atas dasbor
mobil, mengambil kalung salib dan memakainya dalamgerakan singkat.
Corbett menepi ke pinggir jalan, memarkirkan mobilnya di depan toko
mainan milik ayahAbsalom seperti biasa karena Middlesex University tidak
menyediakan area parkiruntuk mahasiswanya. “Selamat pagi, Mr.
McCormick!” sapa Corbett malas pada ayahAbsalom seraya keluar dari dari
mobilnya.
“Seingatku,kau tidak ada kuliah hari ini,
Corbett. Apa yang akan kau lakukan?” tanya Mr.McCormick, mengelap kaca
tokonya.
“Pertanyaan bagus, Mr. McCormick. Tapi,
maaf, aku tidak punya waktu untuk menjawabnya,”jawab Corbett lembut
namun tak acuh. Dia berjalan cepat menuju Hendon –kampusMiddlesex
University, sambil menunduk dan memegangi kalung salibnya. Dia
samasekali tidak mempedulikan dandanannya yang menjadi perhatian banyak
orang.Memakai kaus kaki dan sandal jepit hitam, celana jeans yang sobek
di bagianlutut, kaos oblong warna putih bertuliskan “Idon’t care, I love it”,
rambut acak-acakan yang menyembul di balik tudungkepala, bibir kering,
dan mata merah berkatung. Corbett tak merasakan dinginnyapagi bulan
Januari, ia tetap percaya diri melintasi gedung perkuliahan
bergayaneo-Georgian itu. Pikirannya hanya mengarah pada kapel tua di
belakangperpustakaan Sheppard.
Corbett berdeham
di depan pintu kapel lalu membukanya perlahan. Tak ada siapapun didalam
kapel tua itu, selain Pendeta Rivenbark yang berdiri menyalakan
tigalilin besar di depan altar. Corbett melangkahkan kakinya, dan
tersenyum padapendeta itu. “Aku ingin berdoa,” kata Corbett kaku.
Pendeta Rivenbarkmengangguk pelan kemudian berjalan meninggalkan
Corbett.
Corbett berlutut di depan mezbah, menautkan
jemarinya satu sama lain, dan menundukdengan mata terpejam. Bibirnya
komat-kamit mengucapkan segala yang dia rasakan.Beberapa menit kemudian,
dia membuka matanya dan mendapati seorang gadisberlutut di sampingnya.
Corbett berjingkat ketakutan. “Van Versteegh!” serunyatanpa suara.
Gadis itu membuka matanya dan terkejut, “Tuan Macchiato!”
Corbett menjauhi gadis itu perlahan dan berdeham beberapa kali. “Bagaimana kau bisamasuk ke dalam kapel?”
“Dengan membuka pintu?” jawab van Versteegh polos.
“Maksudku,apa kau tidak takut dengan Tuhan?”
Van Versteegh mengangguk, “Tentu saja aku takut.”
Corbett menelan ludahnya, “Kau pernah bertemu dengan-Nya?”
“Apa maksudmu?”
“Oh,ayolah! Kau tidak bisa menghantuiku terus menerus, van Versteegh.
Aku baru sajamendoakanmu agar damai di alam lain.”
“Kau ini bicara apa, Tuan?”
PendetaRivenbark memasuki kapel melalui pintu samping yang berhubungan dengan kamartinggal sambil berdeham.
“Maafkan aku, Pendeta Rivenbark. Hanya saja gadis ini...” Corbett
menunjuk seseorang disampingnya. Mata Corbett membelalak menyadari tak
ada seorang pun yangbersamanya. Dia menoleh ke arah pintu, pintu itu
berayun pelan tertutup.
“Kau punya masalah, Mr.
Proudfoot? Kau terlihat ketakutan seperti bertemu dengan hantu,”Pendeta
Rivenbark tersenyum geli.
“Hantu katamu? Mungkin. Dia terlihat seperti itu. Satu menit yang lalu dia di sini,lalu pergi.”
hehe, mohon maaf sebelumnya jika tidak sesuaidengan judul. Saya memang hanya menginterpertasikan beberapa kata dari lirik lagu ini. Sekali lagi mohon maaf jika tidak layak disebut songfic
-Dells- Label: cerbung, cerita, ghost, Instruments, misteri, story
0 komentar:
Posting Komentar
Hello, world! Leave a trace and lemme see you....