Kamis, 08 Agustus 2013

The Instruments #1

Holla !
Mooi kedatangan author baru nih, Yippie!
She is Dells, si Maba UB dengan gaya bahasa serupa bahasa terjemahan yang pastinya keren :)
ayolaah, langsung diliat aja postnya...

Cerbung ini dan seterusnya merupakan songfictions, interpretasi saya terhadap lagu-lagu yang saya tuang dalam cerita, happy reading :)

 The Instruments



A Whiter Shade of Pale

            “Aku akan kembali menjelang pagi, kau tak perlu menungguku. Naiklah dan segera tidur!” teriak Corbett sembari memakai mantel coklatnya. Dia menutup pintu di belakangnya dengan keras kemudian berjalan melintasi halaman rumahnya yang bergaya Victoria dan menyeberang jalan menyusuri Seymour Road yang damai. Berjalan sendiri di malam yang larut sama sekali tak membuatnya takut akan berbagai hal buruk yang kemungkinan akan terjadi pada dirinya. Pikirannya hanya tertuju pada sebuah bar di pinggir jalanan Green Lanes, Harringay, London Utara dan botol-botol bir yang akan ditenggaknya.
            Dinginnya malam bulan Januari menggigit tubuh tegapnya hingga membuatnya menggigil, Corbett membenahi tudung kepalanya lalu berlari melompati halaman belakang rumah penduduk Warham Road untuk mendapatkan jalan pintas tercepat sampai di bar. Tumpukan salju di trotoar yang belum dibersihkan petugas kebersihan membuat kaki panjangnya semakin kedinginan. Corbett mendadak berhenti di persimpangan jalan, sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman lebar melihat papan nama bar The Garden Ladder yang gemerlapan. Bunyi musik hip-hop sayup-sayup terdengar bersamaan dengan teriakan-teriakan pengunjung bar.
            “Hei, Corbett! Selamat datang kembali di Harringay,” sambut seorang gadis berambut merah sambil menggelayut di lengannya.
            Corbett menepis gadis itu dan mendengus jijik, “Kau tampak mengerikan dan membuatku mual.”
            “Corbett! Sebelah sini!” seru lelaki tinggi besar, melempar botol bir kosong ke arahnya.
        Corbett menghindar dan membiarkan botol itu jatuh di lantai. Ia menyibak kerumunan orang yang berjoget tak karuan di lantai dansa kemudian duduk kursi tinggi. “Aku mau yang baru,” kata Corbett pada bartender yang akan menuangkan Courage Directors Beer pada gelas bekas temannya.
           “Jadi, kau meninggalkan adikmu begitu saja?” teriak Absalom mengimbangi kerasnya musik yang diputar DJ.
          “Mengapa? Kau ingin mengajaknya berdansa seperti kucing-kucing betina itu,” Corbett memutar kepalanya pada kerumunan gadis di tengah lantai dansa. “Sudahlah, jangan dibahas, kau membuatku semakin merasa berdosa meninggalkan gadis delapan tahun di rumah sendirian.”
          Absalom terbahak, “Aku tak menyangka kau ingat usianya! Well, kau lupa bahwa kau memang pendosa?”
          Corbett mendengus seraya menyesap birnya perlahan-lahan. Sebuah tangan mungil menepuk bahunya, Corbett berbalik dan mendapati salah seorang dari kumpulan kucing betina itu berdiri miring dan memandangnya dengan tatapan memohon. Lelaki brunette itu menaikkan sebelah alisnya, “Abbie, kau saja!”
          Absalom menyeringai lebar kemudian menyeret gadis itu turun ke lantai dansa. Corbett kembali menyesap birnya perlahan, lamunannya melayang pada kejadian yang dialaminya seminggu ini. Ayahnya, Joe Proudfoot, terbang ke Istanbul untuk urusan bisnis hingga membuatnya kembali terdampar di rumah untuk menjaga Heidi, adik tirinya, karena penjaganya pulang ke Aberdeen yang berjarak 534 mil dari London. Ia mengerti betul maksud Joe memintanya pulang ke Seymour, Joe menginginkannya menjadi abang yang baik bagi Heidi setelah ia ditinggal mati ibunya beberapa bulan yang lalu. Hal ini tentu saja mengingatkan Corbett pada luka lama saat ibunya sendiri terbaring koma selama empat bulan hingga akhirnya meninggal dunia karena rumah sakit mancabut hak perawatan bagi ibu Corbett. Namun, kenyataan bahwa Corbett sama sekali tak menginginkan kehadiran Heidi membuat dirinya dalam keadaan sulit dalam seminggu ini. Dia harus menyiapkan sarapan dan mengantar-jemput Heidi ke sekolah, walau Corbett tahu selama seminggu ini mereka hanya makan telur dadar.
          Corbett menenggak birnya seperti orang baru pulang dari Gobi. “Heidi,” gumamnya pelan.
          “Corbett? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya seorang gadis pirang terkejut.
          Corbett memegangi kepalanya yang mulai pusing. Dia mendongak, “Amandine? Kau..”
          “Yeah, aku bekerja di sini. Kau sedang cuti?”
          Corbett berdeham, “Tidak. Dad menyuruhku pulang ke Seymour untuk menjaga.. kau-tahu-siapa.”
          “Oh, ayolah, dia anak yang baik.”
          “Kau mau menjaganya? Aku membuka lowongan.”
          Amandine tersenyum getir, “Aku tidak yakin Mr.Proudfoot mau menerimaku.”
          “Aku yang akan membayarmu, bukan dia. Aku serius. Kau tahu, ini sungguh merepotkan,” Corbett mengerjapkan matanya.
          “Aku sama sekali tidak yakin. Maaf, ini sudah lewat jam kerjaku. Bye, Corbett.”
          “Oke.” Dia kembali memesan sebotol bir dan meminumnya. Corbett menelengkan kepala ke kiri dan ke kanan, mengusir burung-burung biru kecil berparuh kuning yang berputar di atas kepalanya membentuk lingkaran halo. Dia melihat seorang gadis pegawai bar duduk di sudut ruangan memutar-mutar botol soda sembari mengisap mariyuana. Gadis itu terlihat sangat gembira. Corbett melorot dari kursinya dan berjalan dengan langkah berat mendekati gadis itu, dia kehilangan keseimbangan dan jatuh beberapa kali. Dia kembali menyibak kerumunan orang yang bergerak mengikuti irama musik. Corbett bersandar di dinding sebelah gadis itu. Gadis berambut gelap itu merogoh sesuatu dari dalam saku jaketnya, sebuah senter kecil. “Hai,” sapa Corbett seraya duduk di belakangnya.
          Gadis itu tak bergeming. Dia menekan tombol senternya yang menyala warna-warni kemudian mengibas-ngibaskannya di udara sembari tertawa riang. Tangan kanannya menyesapkan mariyuana sekali lagi ke dalam bibir mungilnya.
          Corbett menepuk bahu gadis itu, sontak dia berbalik dan mencengkeram tangan Corbett. “Wow.. wow.. tenang, Nona Muda.”
          Gadis itu menggeram pelan kemudian melepas cengkeramannya.
          “Kau bekerja di sini?”
          “Ya, tapi shift-ku berakhir dua jam yang lalu,” jawab gadis itu dengan suara selembut beledu.
          Corbett terkesiap. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, “Kau suka jankry?”
          “Yeah, ini membuatku lebih gembira dan aktif. Walaupun tidak secara fisik seperti efek metamfetamin. Setidaknya, sejauh ini mariyuana belum terbukti menimbulkan kecanduan.” Gadis itu menyodorkan lintingan mariyuana dalam sakunya pada Corbett. “Cobalah.”
          Corbett menyalakan pemantik apinya lalu mengisap jankry-nya dengan mata tertutup. “Corbett,” dia mengulurkan tangan kirinya. Gadis itu tidak mendengar, sibuk bermain-main dengan senternya. Corbett menarik kembali tangannya dan menenggak birnya.
          “Kau berantakan,” gadis itu menggeleng pelan.
          “Kau mengenal Amandine?” tanya Corbett dengan suara serak.
          “Ya. Dia gadis yang menyenangkan.”
          “Apakah dia masih tinggal di Slough?”
        “Aku tidak pernah tahu dimana ia tinggal. Kau menyukainya? Kudengar, dia temanmu semasa sekolah.”
          “Tidak, aku ingin menawarinya pekerjaan yang lebih baik daripada di sini.”
          “Life saver,” dengus gadis itu.
          “Musiknya semakin hebat, kau mau turun?” ajak Corbett.
          Gadis itu mengangguk kemudian bangkit dengan cepat dan menggandeng tangan Corbett turun ke lantai dansa. Corbett mematikan jankry-nya lalu memasukkannya ke dalam saku celana. Mereka berdua mendesak siapa saja di sekitar mereka dengan gerakan-gerakan yang sinkron satu sama lain. DJ mempercepat temponya, Corbett tertawa keras bersama gadis itu. Riuhnya teriakan dan tepuk tangan pengunjung bar semakin membuat mereka girang.
          Corbett memandang gadis itu dengan senyuman lebar. Gadis itu menyunggingkan sudut bibirnya. “Kau baik-baik saja?” tanya Corbett.
          “Aku sangat bersemangat,” dia terbahak-bahak.
          “Sepertinya kau tak enak badan,” Corbett memegang tangan dan pinggang gadis itu, berdansa pelan seiring tempo yang mendayu-dayu.
          “Aku baik-baik saja,” senandung gadis itu.
          “Entahlah, kau agak pucat.”
          “Dan kurasa kebenarannya jelas terlihat.”
          Corbett segera membawanya ke tempat semula.
          “We want more! We want more! We want more!” teriak pengunjung saat mereka menepi.
          Corbett memberikan senyuman lebar pada mereka dan berteriak, “Sekarang giliran kalian!” Dia melambaikan tangannya pada DJ di seberang ruangan. DJ menaikkan sebelah alisnya dan memutar ulang lagu-lagu tadi. Ruangan itu bersenandung keras seakan langit-langitnya hampir beterbangan. Seorang bartender yang tadi menuangkan bir Corbett berjalan mendekati mereka berdua, membawa nampan berisi sebotol Brothers Cider rasa stoberi-pear dan sebuah gelas ramping.
          “Kau menghidupkan suasana yang begitu semarak. Gratis untukmu,” ujar bartender itu ramah.
       “Tolong ambilkan gelasku tadi,” pinta Corbett. Bartender itu menautkan kedua alisnya kemudian berbalik dan kembali membawa gelas Corbett. “Terima kasih.”
          “Haha, sama-sama.”
         Corbett menuangkan cider itu ke dalam dua gelas lalu memberikan yang satu pada gadis berambut gelap itu. “Minumlah.”
          Gadis itu meraih gelasnya dan minum dengan rakus. “Terima kasih.” Dia menghisap mariyuana lagi.
          “Hei, Corbett, bergabunglah! Kami kekurangan seorang pemain” teriak Absalom yang tengah memegang kartu bridge. Corbett beranjak dan mengambil alih tempat duduk Absalom.
          Absalom mencibir kemudian mulai mengocok kartu dan membagikan pada ketiga kontestan lainnya. Corbett meraup kartu-kartunya lalu memandangi, menelaah dan mengambil keputusan terbaik bagi masa depan kartu-kartu miliknya. Serempak keempat pemain masing-masing meletakkan sebuah kartu perolehan target dalam posisis telungkup di atas meja dan membukanya bersamaan. “Wow!” Corbett bersorak kegirangan mengetahui adanya kartu truf dalam genggamannya. Mereka berempat mulai memainkan permainan yang telah diangkat menjadi suatu olahraga itu.
          Corbett membuang muka pada gadis yang telah menari bersamanya. Gadis itu tersenyum lebar menampakkan giginya yang tersusun rapi sembari mengepalkan tangannya, “Semangat!”
          Corbett tenggelam lagi dalam permainan kartunya, sesekali dia berteriak bersama ketiga pemain lain kemudian menyesap cider-nya. Tak butuh waktu lama baginya untuk menyingkirkan Absalom dan salah seorang temannya. Kini, tinggal Corbett berduel dengan Keane Falkner, seorang pemuda yang bekerja sebagai tukang giling daging yang terkenal jago bermain kartu di Harringay. Corbett melihat gadis tadi melenggang pergi bersama kawanan kucing betina. Corbett meletakkan kartunya kemudian merogoh saku, melempar beberapa lembar uangnya pada Keane lalu berlari menyusul gadis itu. Absalom membuka kartu-kartu Corbett dan mengumpatnya berkali-kali karena seharusnya sedikit lagi ia akan memenangkan babak itu.
           “Tunggu!” teriak Corbett di depan pintu masuk The Garden Ladder.
           Kawanan kucing betina itu bersorak. “Oh, Corbett.. Kau ingin pergi ke Herne Bay bersama kami?”
           Corbett meludah, “Bersama kalian? Hahaha! Tidak akan pernah. Hey, kau!” Corbett menunjuk gadis berambut gelap itu. “Kau akan membahayakan dirimu bersama mereka di Herne!”
      Kawanan berjumlah enam belas orang itu mengernyit. “Corbett, sepertinya kau perlu panduan bersenang-senang,” ujar Bernice, salah seorang dari mereka.
           Corbett menarik lengan gadis berambut gelap itu dan membawanya ke bawah lampu jalanan dengan sempoyongan, “Dengar, jangan pernah berkawan dengan mereka. Aku akan mengantarmu pulang, oke?”
           “Kurasa dia mulai gila, Ladies,” kata  Bernice sembari memasuki mobilnya.
           “Apa maumu?” selidik gadis jankry itu dengan nada tinggi.
           “Aku tak ingin kau bersama kucing betina itu.”
           “Aku bukan anggota mereka, Corbett. Kau bilang kau ingin mengantarku pulang? Kau serius?”
           “Oh, syukurlah,” kata Corbett lega. “Yeah, tentu saja.”
           “Maaf, tapi aku sudah dijemput.”
           “Kau punya kekasih?”
           Gadis itu tertawa, “Paman Zar dan Bibi Lucy selalu menjemputku di Kimberley Gardens. Pulanglah, kau sangat berantakan.” Dia mulai berjalan meninggalkan Corbett.
           “Aku akan mengantarmu sampai persimpangan,” Corbett menawarkan diri.
           “Aku tidak yakin kau akan tahan melihat kedua orang itu.”
           “Lihatlah, dirimu pucat sekali. Bagaimana jika kau pingsan di tengah jalan?”
        “Kau tak perlu khawatir, aku baik-baik saja,” gadis itu tertawa kemudian berlari kecil semakin menjauhi Corbett.
           “Hey, siapa namamu?”
       “Jankry?” teriaknya sembari tertawa dan menghilang di persimpangan saat berbelok ke arah Kimberley Gardens.
           Corbett memasang sarung tangannya, “Yaa Tuhan, dia sungguh manis.”
           “Corbett!” teriak Absalom.
           Corbett mendecak, “Apa? Kau mau tidur di rumahku lagi?”
           Plak! Absalom menampar Corbett, “Kau ini bodoh sekali, Donkey! Tinggal selangkah lagi kau pasti mengalahkan Keane yang sok jagoan itu. Mengapa kau lakukan itu, bodoh?”
           Wajah tirus Corbett berseri-seri, “Kau tahu gadis yang bersamaku di lantai dansa tadi?” Corbett menghela napas, “Dia sungguh menawan, Abbie!”
           Absalom nyengir melihat Corbett, “Apa yang kau bicarakan?”
           “Gadis berambut gelap itu, dia salah seorang pegawai bar tadi aku mengajaknya menari dan minum bersamanya.”
           “Aku tahu, Corbett, kau tadi menari dengan hebat. Aku tak pernah melihatmu semangat sekali seperti itu, tapi percayalah padaku kau tadi menari seorang diri.”
           “Apa?”
           Absalom mengangkat bahunya, “Oke, kau mabuk. Kau terlalu banyak minum Courage Directors, kawan.”
           “Jadi, itu hanya halusinasi?”
           “Aku tidak tahu, tapi kau memang menari sendirian seperti orang gila.”
         “Tidak! Gadis itu memberiku jankry.. sebentar,” Corbett merogoh saku celananya. Tidak ada apapun. “Oh, pasti yang sebelah sini.” Tidak ada.
           “Aku akan mengantarmu pulang, Corbett,” ujar Absalom.
           “Tunggu! Dia baru saja belok ke Kimberley Gardens, kita akan menyusulnya, oke?”
       “Sebentar, Corbett.. kau bilang gadis berambut gelap, dia memberimu jankry, dan pergi ke Kimberley?”
           Corbett mengangguk antusias, “Kau mengenalnya?”
           “Aku tahu siapa yang mengenalnya,” Absalom menarik lengan Corbett lalu kembali ke bar.
           “Keane!”
           “Ada apa, Abbie? Apakah uangnya kurang?” tanya Keane tenang.
           “Corbett bilang dia bertemu gadis itu.”
           Mata Keane membelalak, “Benarkah? Gadis yang berada di sudut itu?”
           “Kau lihat, Abbie! Aku tidak berhalusinasi,” Corbett menyeringai senang.
           Keane berdeham, “Bagaimana jika kita bicara di luar? Di sini terlalu bising.”
           Mereka berjalan keluar dan duduk di kursi panjang di depan bar.
           “Jadi, Corbett.. maaf, dia tidak nyata,” Keane menghela napas.
           “Apa maksudmu?”
         “Dulu di sini ada seorang pegawai, gadis berambut gelap yang selalu membawa senter kecil. Dia sangat terobsesi dengan mariyuana dan cider.
           Corbett memegangi kepalanya dengan perasaan sedikit terguncang. “Kau serius?”
           “Tentu saja, itu terjadi sekitar empat bulan yang lalu.”
           “Bagaimana bisa aku tak mendengar kabar itu?’
           “Bukankah kau tak pernah pulang ke Seymour sejak kau lulus SMA?”
           “Darimana kau tahu?”
           Keane tertawa, “Siapa di Harringay yang tidak mengenal keluarga Proudfoot? Well, kembali ke gadis itu. Dia sangat menyukai cider namun sayang dia alergi dengan stroberi.”
          Corbett terkejut, “Oh, ya ampun.. mungkin itu yang membuatnya semakin pucat. Aku minum Brothers Cider rasa stroberi-pear bersama dia di sudut bar.”
           Absalom dan Keane ternganga mendengar Corbett, “Kau mengajak minum seorang hantu sampai dia sakit?” Absalom tertawa keras.
           “Dia sangat menikmatinya, Abbie,” dengus Corbett.
           “Malam itu, dia minum cider stroberi dua botol kemudian berkunjung ke rumah sakit St. Ann seperti yang biasa dia lakukan sepulang kerja. Dan keesokan harinya, dia ditemukan tergeletak tak bernyawa di depan sebuah rumah di Kimberley Gardens.”
           Corbett menelan ludahnya dengan susah payah dan mata tak berkedip.



0 komentar:

Posting Komentar

Hello, world! Leave a trace and lemme see you....