Jumat, 09 Agustus 2013

Jurnal Remaja Labil: Saya Ingin Telepon Genggam Baru!



                Penulis lagi galo! Iyaps! Galaaoo! Bukan gara-gara gempa tektonik yang episentrumnya di 92km selatan Pacitan kemarin itu, tapi karena penulis lagi dilemma! He’eh! Dilemma besar [hmm… jadi inget salah satu lagunya Peterpan]….
                Udah tahun ajaran baru!! Tapi, yang dipegang penulis hape Keross mulu -_-
                Temen – temen penulis udah pada ganti semua! Ada yang Semsang ato Experia…. Blekberi ato Noaki…. Dari Symbian hingga Android, dari Android sampai Leopard. Penulis udah berbulan-bulan minta kucuran dana APBD dari BPKK (Badan Pengurus Keuangan Keluarga), tapi tak turun jua hingga minggu lalu. Namun, ketika itu, tiba-tiba…. A revelation came to my mind.
Mari kita merenung. J
Oh, ya, sebelumnya…. Semua isi yang di sini, boleh Anda terima atau buang. Jika, berkenan, marilah kita bersama saling berdiskusi tanpa menyalahkan orang lain. Let’s go!
Salah satu cara agar bisa menjadi dewasa adalah dengan penuh pertimbangan…. Menjadi pribadi yang tidak grusah-grusuh dan menimbang sesuatu didasarkan pada rasionalitas, tidak hanya berdasar karena alasan childish, yakni: gaya! Untuk kasus kali ini, penulis memilih telepon genggam, karena penulis, yaa…. Sedang ingin ganti telepon genggam. u,u
Saya juga pernah childish, dan, kini, saya belajar menjadi orang yang tidak boros [karena pernah ngerusakin blekberi harga tiga juta ke atas sampek gak selamet].
Penulis memang menginginkan telepon genggam. Pengen banget! Karena handphone yang sekarang suka hang sendiri, terus SMS yang keluar-masuk suka ilang sendiri. Bener-bener hape seenaknya sendiri! Saya manusia, saya manusia yang labil lebih tepatnya, jadi saya juga pengen punya hape yang canggih seperti yang lainnya. Tapi, setelah dipikir-pikir, itu tidak perlu.
Jeng jeng!! Revelasi datang!
Berikut petikan-petikan revelasi yang saya dapatkan :

Hape Bagus, e.g: smartphone
(+):
·         “Gaya doong, temen2 gua begitu. msa' gua kgak?” -,.-
Ini adalah alasan yang disadari atau tidak, adalah alasan umum remaja saat ini membeli hape. Hayo, ngaku ya mas, mbak….
Melihat kawan yang lainnya seperti itu, secara naluriah (kayaknya), pikiran kita juga bakal kepengaruh dan ingin yang seperti itu juga. Conformity and sense of belonging, in sociology.
·         Ada powerbank, klo pas promo, dapet gratis.
Mayoritas smartphone, memiliki baterai yang cukup tidak tahan banting dan ini adalah solusi dari batrei tersebut.
·         Travel charger, bisa buat ngecharge pake accu.
·         Aplikasinya kecekece.
Udah jelas banget bukan?
·         Membuat hidup serasa lebih mudah.
GPS, siap! Appstore, siap! Email, siap! Blogging di tempat, siap! Alamat toilet terdekat, siap!
·         Suara jernih
·         Keypad ato touchpadnya aluus dan mulus, presisi tinggi.
·         Smartphone bagus dan bisa 'bergaul' perlu > 3jt rupiah setidaknya (fair laah~)
·         Di jejaring soal ada tulisan via-via-nya...
Via Android. Via iPhone. Via Blackberry. Via Pojok Kamar. Via Pinjem BB Temen. *eh?
·         Kalo punya foursquare, tempat-tempat yang kita kunjungi bisa nambah-nambah badge kita tuh..
·         Melebihi fungsi dasar hape masa kini yang MIT (messaging, internet-ing, telephoning)
·         Sumpah, gak bikin minder.
·         Soundnya bisa dung-dung…. Ada bebunyian basnya. Gak cempreng kayak hape biasa -_-
·         Camera-nya bagus, bisa buat mengabadikan momen bersama. Wi-fi-nya juga!
·         Kian eksis di dunia nyata dan maya.
Di dunia nyata: serasa naik kasta gitu bro kalo hapenya gak ordinary.
Di dunia maya: follower twitter naiknya cepet klo pake Twitter / UberSocial for Blackberry. Dan, kita bisa apdet twit atau status dimanapun dan kapanpun, kan? Eksis deeh!

(-):
·         Mahal.
Ini poin penting!
·         Biasanya, BISA BELI, GAK BISA PELIHARA.
Penulis pernah ngerasain gimana rasanya punya Sony Ericsson keluaran terbaru, dulu zamannya Cybershot. Pernah merasakan betapa bikin stressnya punya Blackberry keluaran terbaru terus kena tagihan 200.000-400.000 rupiah, dulu saya memakai kartu pascabayar. Pernah juga merasakan suka dukanya punya Samsung Galaxy Y yang harganya gak mahal, tapi udah Android lah! Hehe.
Saya akui, buat beli, semuanya bisa! Tapi, peliharanya? Sanggup paketan bulanan yang full version? Sanggup BBM-nya tiap hari on? Sanggup on We Chat, KakaoTalk, WhatsApp, dan kawanannya?
Kalo gak kaya banget, sulit gitu itu dijalanin. Dulu, buat paketan yang full sebulan, penulis harus nabung dulu bro!
·         Kemana-mana jadi khawatir, siksaan batin, okay?
Ntar gimana klo ilaang diambil oraang??
Gimana kalo jatuh?
Gimana kalo layarnya lecet-lecet?
Gimana klo catnya luntur?
Dan gimana gimana lainnya.
·         Perlu biaya lebih buat beli accessories-nya.
Sebut saja: leather case, screen guard, memory card, powerbank (klo pas lagi gak promo), upgrade software, dan service-nya yang jauh dan butuh biaya (lagi).
Dulu pernah pas zaman penulis lagi pacaran sama blekberi, di kota penulis masih belum ada authorized dealer BB. Jadinya, pas si BB lagi rewel, jadilah kakak saya yang jauh-jauh ke ibukota provinsi buat nyervis tuh hape sial. Walaupun akhirnya, software-nya diupgrade jadi setingkat BB generasi trbaru kala itu.
·         Di hari-hari biasa, smartphone itu batreinya gak setahan banting handphone MIT atau MT saja. (kcuali klo experia mgkin ya? Kan di promonya ada tuh)

Hape biasa – biasa saja,
(+):
·         Tidak menyebabkan tekanan batin.
·         Mencakup fungsi fundamental hape, Messaging and Telephoning, dan layarnya sudah berwarna.
Bukan lagi handphone yang gedenya segede ulekan sambel dan warna monitornya Cuma biru-item atau kuning-item u,u
·         Pengeluaran pulsa terkontrol.
Kita kan udah gede, apa gak malu masih ngemis-ngemis uang pulsa ke ibuk? “Mamaa, minta pulsa.” -_-
Dengan ini, tidak susah bagi kita untuk menyisihkan sebagian kecil uang saku kuliah kita buat pulsa.

(-):
  • ·         Kurang canggih.
  • ·         Sangat  biasa-biasa saja.
  • ·         Hidup seakan-akan gitu-gitu aja…. 
    • Gabisa publish ke blog kesayangan lewat hape, gabisa main Line.

                Postingannya gak seimbang ya antara efek negative dan positifnya?? Gak papa! Memang penulis ingin para pembaca menggali sendiri. Menimbang-nimbang sendiri. Jika memang orang tua Anda tidak terlalu kaya dan tidak ingin menghamburkan uang, ya sudahlah, pakai saja telepon genggam yang biasa-biasa saja. Dengan atau tanpa hape canggih, anda tetap hidup! Kasta anda tiada akan berubah! Anda masih jadi diri anda! Dan, Anda tidak perlu merasa rendah diri! Jangan merasa kudet! Apa salahnya gak punya akun chat atau BBM? -_-

                Berpikir dengan matang sebelum bertindak!
                Jika ingin membeli smartphone, pikirkan: apa yang akan anda lakukan setelah memilikinya? Mungkinkah seluruh aplikasi dalam smartphone itu akan anda manfaatkan seluruhnya? Jika jawabannya jelas dan jawaban pertanyaan ke-dua adalah IYA, berangkatlah ke konter hape dan belilah smartphone! Jadi orang jangan memikirkan buat bisa jadi kayak yang lainnya, jangan mainstream. Punyalah pendirian dan pikirkan segala sesuatunya dengan logika. Utamakan efisiensi. Jangan jadi seperti saya yang childish kala itu. -_-
                Saya pribadi, sudah diberi kucuran dana yang akan saya gunakan untuk membeli itu. Setelah saya hitung secara kasar, jumlah uang itu cukup buat beli hape nokia yang keypadnya empuk tak berkamera namun berfungsi dasar, Chemistry-nya Raymond Chang, Calculus I-nya Thomas Finney, dan untuk registrasi Speedy. Uang itu sudah sangat cukup.
Dan, saya bisa menjawab dengan yakin, lebih baik punya hape jelek tapi punya speedy di rumah, daripada hape bagus tapi rumpik paketan dan gaada koneksi internet di PC.
Lebih baik saya punya hape jelek namun buku diktat kuliah saya lengkap, daripada hape bagus tapi buat bayar kuliah aja masih seret.
                Jadi, bagaimana keputusan Anda??
                Anda belum bisa cari uang sendiri, sekaya apapun orang tua Anda, kita tetap tidak boleh membuang-buang uang orang tua kita.
                Waduh, tapi bagaimana jika orang tua kita yang menawarinya kita untuk itu? :)

*diilhami dari kisah penulis yang pernah jadi pemboros, tenaang.. sekarang udah sadar kok. Amin!


Kata Mas saya   : “Carilah istri yang tidak boros.”
Kata Saya          : “Carilah suami yang tidak pelit.”
*Jadi mirip kutipannya Tere Liye, kan?
*eh?


Salam Cogito Ergo Sum!
N. Alphard Friedrich

0 komentar:

Posting Komentar

Hello, world! Leave a trace and lemme see you....