Kamis, 11 September 2014

Jurnal Remaja Labil: Today, I should be reviewing Bioethics and Medical Laws

Jurnal Remaja Labil: Harusnya Hari Ini Saya Me-review Bioetika dan Hukum Kedokteran

Well, I’ve had the best day, with you, today.
-Taylor Swift, The Best Day

Ya, harusnya hari ini, malam ini juga saya me-review dan membaca kembali catatan Bioetika dan Hukum Kedokteran yang tadi pagi diberikan oleh professor saya, mengenai jenis-jenis kematian hingga konflik euthanasia dan surrogate mother.
Ya, harusnya saya saat ini sudah berfokus untuk belajar mengenai pelajaran esok hari, tentang Bahasa Inggris dan Dasar-Dasar Profesionalisme.
Harusnya saya sudah melupakan , bukan, saya harusnya sudah bisa bergerak dari Kimia menjadi Kedokteran. Harusnya saya sudah fokus pada studi saya di program studi yang baru ini, bukan terus-menerus terpikirkan dan penasaran dengan segala pelajaran dan kuliah di Kimia. Harusnya.... Sekali lagi, harusnya.
Namun, nyatanya? Di sinilah saya, saat ini,menulis catatan yang bahkan saya bingung mendeskripsikan catatan macam apa ini.
Playlist hari ini adalah album Fearless-nya Taylor Swift.
Tadi pagi, saat di kelas, saya ditelfon oleh Ibuk saya. Saya lupa bagaimana detailnya, tapi saya ingat saya hampir menangis setelah mendengar beberapa kalimat berikut.
“Capek tah, Nduk? Capek banget a sekolah di situ? Kamu yang sabar ya.... Memang sudah begitu jalannya”.

Yaa, bagaimana ya? Saya capek sudah. Baru juga tiga hari kuliah penuh, dari pukul 7.00 – 16.00, tapi entah kenapa rasanya bisa seperti ini. Tiada kata tidak lelah. Mungkin karena ada beberapa masalah ‘jiwa’, selain beberapa masalah ‘raga’ yang tengah saya alami. Mungkin karena merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal. Mungkin karena saya memikirkan segalanya terlalu dalam hingga mengorbankan waktu produktif saya untuk memikirkan hal secara berlebihan, yang berakibat pada kurangnya waktu tidur saya, kemudian membuat saya mengantuk sepanjang hari, sepanjang waktu. Baiklah, hobi saya memang tidur.
Dan, ketika rasa tidak aman tersebut muncul, rasa bingung dan galau itu muncul kembali ke permukaan, satu hal yang terpikirkan oleh saya adalah menghubungi teman-teman saya.... mulai dari Della hingga Malisa. Intinya, saya selalu menghubungi teman-teman saya ketika sedang blue seperti ini. Saya bukan tipe orang yang bisa menyelesaikan masalah hati sendirian.
Saya buka tipe orang yang  mudah bergaul, bukan tipe orang yang mudah memulai percakapan dan membuat perbincangan tersebut menjadi terus berlanjut. Saya bukan tipe orang yang mudah berbaur dengan yang lain. Saya bukan orang yang suka memulai pembicaraan. Saya orang sensitif. Saya selalu bingung dalam mengatakan sesuatu yang muncul begitu saja dalam otak saya, bahkan jika boleh, saya ingin bicara saja lewat media kertas dan pulpen. Bahkan jika boleh, saya ingin bercengkerama selalu lewat pesan singkat saja, walaupun saya sulit menghemat karakter. Bahkan jika boleh, saya ingin bicara tanpa membuka mulut, lewat telepati saja. Saya sulit menyatakan sesuatu yang ada dalam kepala saya. Sering saya ingin memberi selamat pada teman saya, tapi akhirnya hanya senyum asimetris yang keluar. Sering saya ingin menyapa semua orang, tapi akhirnya hanya tundukan kepala yang saya lakukan.
Butuh waktu yang cukup lama bagi saya untuk bisa bicara, dalam arti harfiahnya, dengan seseorang dan menjadi akrab dengan orang tersebut. Saya sering berkata pada diri saya bahwa saya harus selalu menjaga jarak. Akibat pengkhianatan di masa lalu, saya selalu curiga pada semua orang, sering saya curiga secara tak beralasan. Saya selalu bertekad menjaga jarak, walaupun pada sebagian kecil orang, saya mempercayai mereka dalam kapasitas penuh, se-percaya saya akan eksistensi Tuhan. Okay, tentu saja ini berlebihan, tentu se-percaya apapun itu, saya sering skeptis.
Saya orang yang sering sekali memikirkan pendapat orang lain dan pemikiran mereka mengenai saya, yang saya juga sadar bahwa mereka kemungkinan besar tak akan memperhatikan saya, bahkan keberadaan saya. Sakit juga rasanya tidak diakui bahwa kamu juga prodi PD, oleh kawan sekelasmu sendiri. Tapi, perasaan supaya selalu tidak terlihat dan bertindak se-mainstream mungkin selalu menghantui saya.
Setelah waktu yang cukup lama untuk membaurkan diri dengan teman-teman Kimia-C saya, akhirnya, setelah menjadi dekat dengan mereka, menjadi bagian dari mereka, saya harus pergi, beralih ke prodi lain. Menjadi maba lagi, menjalani orientasi lagi, memulai segalanya dari titik nol lagi, beradaptasi kembali.
Awalnya saya pikir saya akan baik-baik saja. Saya bisa melalui segalanya, saya bisa beradaptasi, hanya perlu mengusahakan mulut ini untuk berbicara hal apa yang muncul di otak saya. Saya hanya perlu jadi lebih terbuka, saya pikir.
Namun, nyatanya, setiap kali saya membuka beranda halaman Facebook saya, Path saya, Twitter saya, Instagram saya, saya selalu melihat postingan dari teman-teman kimia saya. Membuat saya berpikir betapa bahagianya mereka. Betapa menyenangkannya hidup mereka. Melihat mereka memberikan status-status positif tentang perkuliahan semester 3 mereka, saya senang membacanya, serasa ikut jadi bagian darinya. Ya, saya suka membacanya. Karena rasa suka tersebut,akhirnya timbul rasa sedih pula di diri ini.
 Saya bukan tipe orang yang suka dalam keramaian, tapi juga tidak senang pula dalam kesendirian. Saya pikir saya sudah berusaha membuka diri untuk mendapatkan kawan-kawan baru, tapi, nyatanya, sampai hari ini, saya selalu sendirian saja, melakukan ritual jalan-jalan siang saya, yang telah saya lakukan sejak hari pertama kuliah. Tentu ritual tersebut yang saya maksud adalah berjalan dari ruang kuliah saya, biasanya Gedung Faal lt. 3, menuju ke Gedung Kimia lewat perpus UB atau depan Gedung MIPA, setelah itu saya akan berjalan-jalan hingga ke daerah Kertoleksono untuk sekedar membeli air putih kemudian jalan kembali ke Faal melalui rute yang berbeda. Mengapa saya melakukan perjalanan  yang cukup jauh tersebut? Untuk membunuh waktu[!!], daripada duduk sendirian tak melakukan apapun selain berpikir kesana-kemari. Namun, jika ketika lewat Kimia bertemu dengan kawan-kawan saya terdahulu, tentu saya akan  singgah di sana. Dan saya jadi tahu tentang apa yang disebut kembali pulang, tentang apa yang disebut sanctuary, yakni suaka.
Namun, saya tahu saya bukan lagi jadi bagian dari mereka. Tapi saya juga belum jadi bagian dari Pendidikan Dokter juga. Inilah saya, masih terkurung dalam Limbo, alam antara.
Saya belum pernah sekalipun membuka mulut ketika profesor-profesor saya mengajukan pertanyaan, sekali buka mulut pun saya salah omong [hal ini terjadi ketika PBL pertama. Ah, saya jadi malu].
Selain teringat masa-masa indah [dan tentu saja, alay] bersama Malisa, Masitha, dan Mega yang unik dengan cara mereka sendiri. Selain terngiang-ngiang dengan masa-masa aneh di Kimia-C, bersama dengan ke-empatpuluhsatu penghuni lainnya. Saya akui, saya belum bisa melupakan trinitas suci dosen kimia yang menurut saya sangat KECE! Trinitas suci dosen kimia à Bu Diah, Pak Lukman, Pak Sabar. Tentu saja, saya paling tidak bisa move on  dari Dosen Pembimbing Akademik saya tersebut. Mungkin saya terlalu mengaguminya. Mungkin saya terlalu jadi penggemarnya, mungkin saya cukup menguntit website pribadinya. Belum lagi penasaran dengan ajaran-ajaran menyenangkan dari Pak Sabar yang ternyata saat ini mengajar  dua matakuliah sekaligus!! Nyesek gak sih? Tapi saya bersyukur teman-teman saya tetap mendapatkan dosen-dosen yang baik dan keren tersebut. Betapa menyenangkannya belajar Kimia Analitik Dasar II dan Statistik Kimia bersama Pak Sabar yang materi dan soal-soalnya selalui menggelitik otak untuk berpikir. Apalagi dengan Kimia Koloid yang diajari Pak Lukman. Astaga, saya memang penggemarnya!! Saya ingin menyusup ke dalam kelas Pak Lukman dan Pak Sabar! Bu Diah kemana?? Ternyata Bu Diah semester ini tak dapat menemani Kimia-C karena keterbatasan dosen kimia fisik. Ah, pernah dulu, sekali, saya terpikir untuk menjadi dosen Kimia Fisika [dengan otak se-pas-pas-an ini?? Give me a break!].
Kini, saya mengerti dengan ungkapan “seberapa besar cintamu pada sesuatu, akan terasa ketika kau telah kehilangan ia”. Ya, saya mengerti.
--
Ayolah, tiadakah kamu punya cerita di FK-mu itu? -.-“
Belum, saya belum punya cerita tertentu. Bahkan saya belum bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Entah kenapa saya selalu merasa tidak nyaman. Entah kenapa saya selalu ingin segera mengakhiri kelas. Saya menyukai materinya, tapi saya mulai kehilangan orientasi. Saya mulai kehilangan alasan mengapa saya berada di sini. Saya mulai muak dengan sistemnya yang tidak menjunjung tinggi kebebasan orang untuk berpolitik atau tidak. Saya mulai bosan. Saya mulai bingung untuk apa saya di sini. Okelah, mungkin ini efek samping belum punya teman. Mungkin ini efek samping kesepian.
Menurut perhitungan saya, akan butuh waktu sekitar dua minggu bagi saya untuk bisa bicara dengan mereka secara lebih leluasa, walau saya yakin saya akan menjaga jarak. Mungkin butuh waktu sekitar dua minggu, sejak pertama kuliah, bagi saya untuk menemukan topik pembicaraan dengan orang yang duduk di sekitar saya. Dan, selanjutnya, mungkin butuh waktu sekitar satu bulan penuh untuk mengurangi kelainan psikis saya, inferiority complex. Dengan mengurangi this inferiority complex, mungkin saya bisa lebih mempercayai diri saya, mungkin akhirnya saya bisa mengatakan pendapat saya secara lantang, dan satu hal yang pasti, mungkin saya bisa membuat diri saya secara penuh adalah bagian dari prodi ini. Bahwa saya pantas untuk menjadi dokter. Bahwa saya bisa membuat otak saya ini lebih teguh dan bertambah lipatannya. Bahwa saya bisa menghadapi segala rintangan yang ada di depan saya. Mungkin saya akan lebih bisa mengabaikan pikiran orang lain tentang saya. Mungkin saya akhirnya bisa mendapatkan teman dan berhenti melakukan ritual jalan-jalan siang.
Namun, pertama, saya harus bisa bergerak dan mengikhlaskan kimia kemudian beralih dan memeluk pendidikan dokter, tanpa membuat ia membelenggu saya. Yang terpenting, saya harus mengatasi inferiority complex ini dan meyakinkan saya bahwa saya di sini sudah pantas dan pas, wong saya sudah terbukti kredibilitasnya melalui tes sbmptn. Dan, tentu saja yang utama, saya harus selalu meyakini bahwa Tuhan saya yang selalu menemani saya itu, yang tidak pernah melalaikan saya itu, yang selalu mendengarkan saya itu, yang memberikan kehidupan pada saya, bahwa Tuhan yang selalu melindungi saya dan selalu saya mintai tolong tersebut, tidak akan pernah mengabaikan saya.

Can you feel it now? These walls that they put up to hold us back will fall down.
It’s a revolution. The time will come for us to finally win.
We’ll sing hallelujah.
-Taylor Swift, Change
Hallelujah à Alhamdulillah à Praise due to God.

20140911

22.53

0 komentar:

Posting Komentar

Hello, world! Leave a trace and lemme see you....